…… Ia melihat, bahwa mereka mengikuti Dia, lalu berkata kepada mereka, “Apakah yang kamu cari?” Kata mereka kepada-Nya, “Rabi, dimanakah Engkau tinggal?” Ia berkata kepada mereka, “Marilah dan kamu akan melihatnya”

(Yohanes 1:40-42)

Kutipan ayat di atas adalah bagian dari bacaan Injil Yohanes 1:35-42. Dikisahkan, Yohanes pembaptis ketika melihat Yesus, di hadapan dua orang muridnya, ia berkata: “Lihatlah Anak Domba Allah” (ay 6) Mendengar itu, ke-2 murid tersebut lalu pergi mengikuti Yesus.
Yesus kemudian bertanya pada ke-2 orang murid yang mengikuti-Nya dari belakang: “Apa yg kamu cari?” dan mereka menjawab: “Guru, dimanakah Engkau tinggal ?” (ayat 38) Yesus berkata pada mereka: “Marilah dan kamu akan melihatnya” (ay 42)

Injil Yohanes di atas sengaja menempatkan dialog ini pada bagian awal dari serangkaian komunikasi yang tercipta antara Yesus dan para murid-Nya. Mengapa? Jika kita renungkan lebih dalam, kita akan dapat memahami bahwa hal tersebut dimaksud agar setiap orang yang mau mengikuti Yesus harus paham dan sadar terlebih dahulu, motivasi apa yang mendasari mereka ingin mendekati dan mengikuti Yesus?

Selanjutnya dikisahkan, hubungan Yesus dengan para murid tidak semulus dan seindah yang dibayangkan. Disana ada pengkhianatan, penyangkalan, dan penolakan.
Hal seperti itu juga terjadi juga dalam perjalanan relasi/hubungan kita, satu sama lain, baik dalam keluarga, gereja, mitra kerja, sosial masyarakat, dllnya. Mengapa? Hal ini terjadi karena orang tidak sungguh-sungguh memahami dan tidak pernah merenungkan apa sebenarnya yang dicari dalam hidup.

Banyak orang mengatakan bahwa dalam kehidupan ini yang dicari adalah “kebahagiaan”. Dengan kata lain, kebahagian dijadikan objek pencarian utama. Mereka tidak memahami bahwa seharusnya kebahagian itu bukanlah objek pencarian. Kebahagiaan itu sesungguhnya hanyalah “efek atau dampak” dari sebuah pencarian yang sebenarnya. Namun, tidak sedikit dari kita yang terkecoh oleh hal-hal yang membuat kita bahagia, padahal justeru menghancurkan.

Kita lebih sering menjadi “pengabdi kebahagiaan” daripada “pengabdi Allah”. Orang yang mengejar kebahagiaan tanpa mengetahui apa itu “kebahagiaan sejati”, cenderung akan menjadi “kutu loncat”. Pindah dari satu hati ke hati yang lain, dari satu objek ke objek lain, dari satu agama ke agama yg lain. Jika ini terjadi, sudah bisa dipastikan akan banyak luka dan air mata. Inilah sebenarnya tujuan utama setan, yaitu membuat orang semakin menjauh dari Tuhan.

Sesungguhnya, sebenar apapun yang kita pikirkan, sebaik apapun yang kita kerjakan, jika itu membuat kita jauh dari Tuhan, maka waspadalah! Jangan sampai terperangkap dalam perangkap si jahat.

…. Sahabat…

Sekarang saatnya kita bertanya pada diri sendiri : “Apakah semua yang telah kita jalani, semua yang telah kita dapatkan dan kita raih, sudah membuat kita semakin dekat dan akrab dengan Tuhan, atau justeru membuat kita semakin jauh dari-Nya?”

Spiritualitas Kristiani adalah tinggal bersama Tuhan, seperti kata Pemazmur: “Satu hal kuminta pada Tuhan, diam di rumah Tuhan seumur hidupku” (Mazmur 27:4)

Pemazmur juga mengingatkan, bahwa adalah hampa dan tiada berguna ketika kita memiliki semua hal, tapi kita kehilangan Tuhan. “Lebih baik satu hari di pelataran-Mu, daripada seribu hari di tempat lain” (Maz 84:11)

Jadi, apapun rutinitas, ambisi, mimpi, dan cita-cita kita, seharusnya semua itu membuat kita semakin dekat dan menyatu dengan Tuhan.

Semoga renungan singkat ini bermanfaat mengarahkan kita untuk memahami apa kehendak Tuhan bagi kita.

Salam Damai Sejahtera

BTL

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *