” ….. Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya; mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, mereka akan berbicara dlm bahasa-bahasa baru bagi mereka. Mereka akan memegang ular, dan sekalipun mereka minum racun maut, mereka tidak akan mendapat celaka; mereka akan meletakkan tangannya di atas orang sakit, dan orang itu akan sembuh” (Markus 16:15-18)

Ayat Injil Markus di atas, adalah perkataan Yesus, yang memang digenapi secara luar biasa oleh para jemaat pertama.

Pada masa Gereja awal, mujizat-mujizat seperti ini umum terjadi, dan direkam dalam sejarah, seperti yang tertulis dalam Kitab Perjanjian Baru (Kis 3:1-11; 28:3-6), dan dalam tulisan-tulisan jemaat Kristen awal, seperti tulisan St. Irenaeus pada abad ke-2 (Eusebius, HE 5,7,4-6).

Mujizat memang merupakan sesuatu yang penting dan pantas terjadi di abad-abad awal, sebagai tanda bukti kebenaran ajaran Kristiani. Mujizat-mujizat seperti itu masih terjadi sampai sekarang, walau dari segi frequensinya tidak lagi sesering pada jemaat pertama. mengapa? Karena ajaran Kristiani telah dikenal oleh banyak orang dan diterima sebagai kebenaran, sebagaimana dikatakan St. Jerome :

“Mujizat-mujizat itu diperlukan pada saat awal untuk meneguhkan iman orang-orang. Tetapi, pada saat iman seseorang sudah diteguhkan, maka mujizat-mujizat itu tidak diperlukan lagi” (Comentary on Mark, in loc

Namun, harus diakui sampai saat ini, masih ada umat kristiani yang menelan mentah-mentah apa yang tertulis dalam teks-teks Alkitab.

Di medsos youtube muncul tantangan meminum racun maut. Ada yang sengaja menggigitkan ular di tubuh, atau minum racun sebagai pembuktian apakah kata-kata Yesus dalam Injil Markus tersebut benar atau tidak.

Ada pula yang menerka-nerka hari kiamat, bahkan yang lebih ekstrim lagi memakan rumput karena menganggap dirinya domba. Ini adalah kebodohan!

Banyak kesalahan tafsir yang menghasilkan kesalahan ajaran disebabkan karena orang melepas ayat keluar dari konteks dan diartikan secara bebas sehingga menghasilkan kesimpulan yang sama sekali diluar dari maksud si penulis Alkitab (metoda Eisegesa).

Hendaklah dimengerti bahwa :

  1. Injil adalah “sastra iman” atau iman yang di sastrakan. Terkadang manusia sulit untuk mengekspresikan/”membahasakan” iman. Sastra membantu manusia untuk membahasakan/mengekspresikan apa yang sulit diungkapkan, sehingga kemudian muncullah analogi, perumpamaan, kiasan-kiasan.
  2. Studi Alkitab bukan hanya mempelajari ayat-ayat yang ada dalam Alkitab, tapi lebih dari itu harus mempelajari konteks historisnya, konteks kitabnya, bentuk-bentuk sastranya. Misal: dalam kitab Daniel dan kitab Wahyu akan dijumpai sastra Apokaliptik.
  3. Sebuah Injil itu ditulis untuk komunitas pembaca di zamannya, yang memang mengerti konteksnya. Itulah mengapa kita yang hidup di hari ini tidak serta-merta dapat mencaplok satu menelan mentah-mentah apa yang tertulis dalam sebuah teks. Maka, disinilah kita belajar tentang peranan studi Alkitab.

Seorang pengikut Kristus tidak mengukur imannya dari apakah dia sakti atau tidak. Iman kita tidak diukur dari apakah kita baik-baik saja ketika dipagut atau minum racun ular. Iman kita juga tidak diukur dari apakah tubuh kita kebal terhadap panasnya api atau tajamnya pisau. Iman kita tidak diukur dari apakah tubuh kita selalu prima, dan tidak pernah sakit.

Beriman itu bukan usaha agar kita terhindar dari kenyataan-kenyataan manusiawi yang tidak kita inginkan.

Ada begitu banyak yang beribadat dan berdoa dengan tujuan agar terhindar dari pengalaman-pengalaman manusiawi, seperti kegagalan, kejatuhan, penolakan, sakit-penyakit, kemiskinan, dll

Ada begitu banyak orang beribadat dan berdoa di depan Yesus yang tersalib, namun isi doanya berisi penuh dengan permohonan agar dirinya tidak mengalami salib atau mengalami seperti yang dialami Yesus.

Ada banyak orang berdoa dengan berteriak “darah Yesus, darah Yesus!” tetapi isi doanya adalah permohonan agar mereka tidak berdarah seperti Yesus.

Arti beriman tidaklah sesempit itu. Tidak perlu kita menjadi umatNya jika hanya untuk bertahan dari gigitan ular atau kebal terhadap racun maut. Ada makna yang lebih dalam yang harus kita gali dari teks Injil Markus diatas.

Kita harus berhati-hati sebab pertama-tama kita dipanggil untuk beriman, bukan untuk mengubah keadaan. Iman bukan rahmat untuk mengubah keadaan apalagi untuk lari dari kenyataan. Justeru sebaliknya, iman adalah rahmat agar kita bisa berbuah dalam setiap keadaan dan kenyataan.

Demikian dapat kita pahami, mengapa Yesus melarang orang untuk menggembar-gemborkan peristiwa mujizat yang dilakukan-Nya, agar orang tidak mengejar-ngejar mujizat tetapi kerdil tidak pernah berbuah

Dalam perspektif Kristiani,

Iman adalah kemampuan untuk melihat hal besar dari hal-hal kecil yg terlihat sepele
Iman adalah kemampuan untuk melihat perkara surgawi, di dalam perkara yang sangat manusiawi.
Iman adalah kemampuan melihat Allah dalam wajah dan ujud manusia.

Ukuran iman yang sejati adalah :

Apakah kita rela mengampuni, sekalipun kita hampir mati karena diracun?

Apakah kita masih rela untuk mengasihi dan mendoakan orang yang memfitnah, menjegal, menjatuhkan, bahkan merugikan kita?

Apakah kita akan mengerjakan dengan cinta dan hati yang besar, sekalipun kita hanya diberi tugas, peranan, dan tanggung jawab yang sangat kecil dan sepele?

Beriman itu berarti berproses bersama Allah. Sehingga dari proses bersama Allah itu, apa yang tampak tidak mungkin menjadi mungkin.

Beriman itu sejatinya adalah panggilan bukan untuk mengubah kenyataan, tetapi untuk berbuah dalam setiap kenyataan.

Salam Damai Sejahtera

BTL

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *