“Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allah, kepadamu” (Kel 20:10)

Hal menghormati, berbakti dan membalas budi kepada orang tua adalah sesuatu yang sangat signifikan dalam kebudayaan semua bangsa di dunia, terutama dalam masyarakat Asia.

Dalam ajaran budaya Tiongkok misalnya, anak yang tidak berbakti kepada orang tua dianggap sebagai orang jahat yang membawa aib kepada seluruh keluarganya.

Kata “berbakti” dalam Kitab Suci, menurut kamus bahasa Indonesia dapat diartikan “tunduk dengan hormat”. Ungkapan ini umumnya dipakai juga dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan. Jadi, kata “berbakti” adalah sebuah “kata besar” yang memiliki arti dalam & serius.

Ayat di atas secara spesifik mengajarkan kita untuk menghormati orang tua kita terutama saat berada dalam kekurangan. Mereka yang tidak mempunyai penghasilan, dalam kesepian dan penderitaan.

Sebagai anak baik kita seharusnya berupaya meringankan beban mereka di hari tua, karena merekalah yang sudah memelihara dan membesarkan kita.

Berikut ada sebuah kisah nyata semoga dapat membantu kita untuk memahami arti kata “hormat kepada orang tua” sebagaimana dimaksud ayat tersebut di atas


Ketika usianya masih sangat belia, Zhang Da harus menanggung beban hidup yang berat. Di tahun 2001 saat usianya menjelang 10 tahun, dia harus menerima kenyataan bahwa ibunya pergi dari rumah.

Sang ibu tidak tahan dengan kemiskinan yang mendera keluarganya, dan yang lebih tragis, dia pergi karena merasa tak sanggup lagi mengurus suaminya yang lumpuh tak berdaya. Ia tidak sanggup menafkahi keluarganya.

Sekarang, Zhang Da yang tinggal berdua dengan ayahnya yang lumpuh harus mengambil alih semua pekerjaan keluarga. Ia harus mengurus ayahnya, memandikan dan mengobati. Mencari nafkah, mencari makanan dan memasaknya. Mencuci pakaian dsbnya.

Yang patut dihargai, ia tak mau putus sekolah. Setelah mengurusi ayahnya, ia pergi ke sekolah berjalan kaki menyusuri hutan kecil dengan mengikuti jalan setapak menuju tempatnya mencari ilmu.

Selama dalam perjalanannya, ia memakan apa saja yang bisa mengenyangkan perutnya, mulai dari daun2an, jamur, buah2an liar, demi berhemat.

Tidak semua bisa jadi makanannya. Ia harus menyeleksi berdasarkan pengalaman, dan beruntung ia tak memakan jamur, buah-buahan, dedaunan yang beracun.

Demi membeli makanan dan obat-obatan untuk ayahnya, usai sekolah Zhang Da bekerja sebagai tukang batu. Ia membawa keranjang di punggungnya dan pergi menjadi pemecah batu. Upah ia gunakan untuk membeli aneka kebutuhan seperti obat-obatan untuk ayahnya, bahan makanan untuk berdua, dan sejumlah buku untuk ia pelajari.

Zhang Da ternyata anak yang cerdas. Ia tahu ayahnya tidak hanya butuh obat yang harus diminum, tetapi diperlukan obat yang harus disuntikkan. Karena tak mampu membawa sang ayah ke dokter atau ke klinik terdekat, Zhang Da justru membeli buku dan mempelajari bagaimana cara menyuntik.

Setelah bisa membeli jarum suntik & obat lalu ia menyuntikkannya secara rutin pada sang ayah.

Kegiatan merawat ayahnya ini terus dijalani selama lima tahun. Rupanya kegigihan Zhang Da yang tinggal di Najing, Propinsi Zhejiang, menarik perhatian pemerintah setempat.

Pada Januari 2006, pemerintah China menyelenggarakan penghargaan nasional pada tokoh-tokoh Inspiratif Nasional. Dari 10 nama pemenang, satu di antaranya terselip nama Zhang Da, ternyata ia pemenang termuda.

Acara pengukuhan dilakukan melalui siaran langsung televisi Nasional. Ketika Zhang Da diminta tampil ke depan panggung, pemandu acara menanyakan kenapa dia mau berkoban seperti itu padahal dirinya masih anak-anak. Ia menjawab :

“Hidup harus terus berjalan, tidak boleh menyerah, tidak boleh melakukan kejahatan. Harus menjalani hidup dengan penuh tanggung jawab!” Suara gemuruh penontonpun pecah memberikan applaus. Pembawa acara menanyainya lagi :

“Zhang Da, sebut saja apa yang kamu mau, dan apa yang kamu inginkan. Mau sekolah dan kuliah dimana? Berapa biaya yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah, sebut saja apa yang kamu idam-idamkan. Disini ada banyak pejabat, pengusaha, dan orang terkenal yang hadir. Saat ini juga ada ratusan juta orang sedang menyaksikan kamu melalui layar TV. Mereka mau dan siap membantu”!

Zhang Da terdiam. Sejenak terjadi keheningan, orang-orangpun menunggu jawabannya. Pembawa acara sampai harus mengingatkannya lagi, Ia menegaskan : “Katakan saja… !”

Zhang Da yang saat itu berusia 15 tahun membuka mulutnya dengan bergetar. Semua hadirin di ruangan itu, dan jutaan orang yang menyaksikannya langsung melalui televisi terdiam menunggu :

“Saya mau mama kembali. Mama kembalilah ke rumah, aku bisa membantu papa, aku bisa mencari makan sendiri. Mama kembalilah!”

Kata Zhang Da yang disambut tetesan air mata haru para penontonnya.

….Sahabat….

Zhang Da tidak meminta hadiah uang atau materi atas ketulusannya berbakti kepada orangtuanya. Padahal saat itu semua yang hadir bisa membantu mewujudkannya. Di mata Zhang Da, materi bisa dicari sesuai kebutuhan, tetapi kasih sayang seorang ibu itu tidak ternilai.

Demikian pula dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam pelayanan gerejawi, karakter manusia bukan dibentuk oleh agama, motivasi-motivasi, jargon-jargon, semboyan-semboyan, atau oleh cerita-cerita yang memberi harapan dan ilusi-ilusi yang memabukkan, tapi ditentukan oleh kasih, kemauan, dan niat baik untuk menjadi manusia yang berguna bagi sesamanya.

Semoga kisah nyata yang tampak sederhana ini, memberi pelajaran moral yang amat bermakna bagi kita semua. Semoga Tuhan tetap memimpin kita dalam mempraktikkan prinsip hubungan yang baik antara orang tua dan anak dalam hidup kita.

Salam Damai Sejahtera

BTL

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *