Bulan September merupakan bulan yang dikhususkan oleh Gereja Katolik sebagai Bulan Kitab Suci Nasional. Pada bulan ini, pimpinan Gereja menganjurkan agar umat Katolik menjadi lebih akrab dengan Kitab Suci, sehingga dengan demikian umat semakin tangguh dan mendalam imannya dalam menghadapi kerumitan dan kesulitan hidup dewasa ini. Dan .. aktivitas paling favorit orang Katolik di BKSN ini adalah “Sharing Iman”. Dengan kata lain, bila ada pertemuan doa pasti ada sharing iman.

Namun, berdasarkan pengalaman dan pengamatan, sharing-sharing yang disampaikan dalam pertemuan-pertemuan tersebut dapat menjadi ajang untuk menyebarkan hal-hal yang kurang pas dengan ajaran Gereja Katolik.

Terkadang, dalam menceritakan pengalaman pribadi atau pengalaman orang lain, seseorang dapat saja memberikan nasihat di luar konteks dari tema maupun bacaan KS, dan seringkali menarik kesimpulan yang tidak sesuai dgn ajaran Gereja.

Dalam suatu pertemuan, tidak jarang kita mendengar seseorang mengatakan :

“kita tidak perlu berdebat tentang iman, yang penting hidup kita baik, itu cukup”

Pernyataan ini menyiratkan seolah-olah “hanya perbuatan baik saja yg menyelamatkan” dan seolah-olah “mewartakan ajaran iman melalui kata-kata itu tidak penting”. Dan anehnya, kebanyakan orang pada diam ! _Mengapa ?

Berikut alasannya :

1. Sharing iman tidak boleh dikoreksi

Ada semacam “aturan tak tertulis” dimana sharing pengalaman iman seseorang tidak boleh dikoreksi, sebab dalam sharing iman dianggap “tidak ada benar salah”

Anggapan semacam ini adalah sungguh keliru, karena walaupun tujuan membagikan sharing tsb untuk mendorong orang agar terbuka dan mau membagikan pengalamannya, namun kita perlu membedakan hal-hal yg sifatnya “subjektif” dan “objektif”. Sharing selalu mengandung dua hal tersebut.

2. Ancaman terhadap keharmonisan

Rasa “”sopan santun” cenderung membuat seseorang segan untuk mengatakan hal yg semestinya ketika mendapati orang lain melakukan kesalahan. Rasa segan untuk mengoreksi kesalahan sesama menjadi fenomena yg sering dijumpai dalam kehidupan bersama.

Persoalan utama, bukan karena tidak ingin mengatakan kebenaran, tetapi karena alasan “keharmonisan menjadi terancam”. Ada semacam kekuatiran jika relasi yang harmonis akan terganggu.

Tidak jarang sikap ini muncul karena rasa takut yang berlebihan. Maka, sikap diam lebih menjadi pilihan ketimbang mengoreksi. Fenomena ini mengindikasikan hilangnya kepedulian sosial. Orang lebih berikhtiar pada prinsip “urus saja dirimu sendiri”

.. Sahabat…

Kita perlu mengetahui bahwa tindakan kasih tidak hanya terbatas pada bantuan jasmani saja, tetapi juga bantuan spiritual, termasuk mengingatkan orang lain ketika ia melakukan kesalahan atau kurang pantas, dengan tujuan agar orang tersebut bisa menjadi lebih baik.

Disinilah kita memerlukan “fraternal correction” yaitu “koreksi persaudaraan” yang berlandaskan kasih dan kebenaran.

Fraternal Correction ini merupakan unsur penting dalam kegiatan sharing iman. Ajaran resmi Gereja Katolik pun mengatakan “Kasih menghendaki kemurahan hati dan teguran persaudaraan” (KGK 1829)

Debat kusir memang tidak perlu, apalagi orang yang jadi lawan diskusi tidak memiliki kehendak baik. Itu sama dgn memberikan “mutiara kepada babi” (Mat 7:6)

Namun, koreksi itu sampai batas tertentu memang diperlukan, dan kita juga tahu kapan harus berhenti.

Marilah kita terus menerus berusaha melakukan perbuatan yg baik demi kemuliaan Allah, baik dalam NIAT, baik dalam CARA, dan baik dalam SITUASI.

Salam Damai Sejahtera

BTL

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *