Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikuti Aku, ia tidak layak bagi-Ku” (Matius 10:38)

Di dunia yang serba praktis dan cepat ini, berkembang mental untuk menolak segala bentuk ketidaknyamanan. Jika ketidaknyamanan saja ditolak, apalagi penderitaan. Dunia menganggap penderitaan sebagai sesuatu yang negatif dan harus dihilangkan.

Bahkan di kalangan umat Kristen sendiri ada sejumlah orang yang berpendapat bahwa “tanda” seorang benar-benar dikasihi Tuhan, ialah jika ia “tidak menderita”.

Sebenarnya, jika kita renungkan, ketika kita menerima kehidupan, berarti kita menerima seluruh fakta dan kenyataan dalam kehidupan, termasuk menerima penderitaan dan dukacita yang merupakan bagian utuh dari kehidupan itu sendiri.

Namun, banyak dari kita memiliki motivasi beragama atau beriman, dengan maksud untuk mengelak dari penderitaan.

Ada begitu banyak orang yang mendatangi Gereja, rumah-rumah ibadat, dengan tujuan supaya bisnis sukses, supaya tidak sakit, supaya tidak mengalami kemalangan dan penderitaan, supaya tidak mengeluarkan air mata dalam hidup ini.

Gereja Katolik tidak mengajarkan demikian, salah satu alasannya adalah perkataan Yesus sendiri yang dicatat dalam Injil “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikuti Aku, ia tidak layak bagi-Ku” (Matius 10:38)

Salib & penderitaan merupakan jalan yang harus kita tempuh untuk mengikuti Yesus, sebab sesungguhnya selama hidup di dunia, penderitaan tidaklah sepenuhnya dapat dihindari. Tidak perlu dicari penderitaan akan datang sendiri.

Memang, ada penderitaan yang datang karena kesalahan kita, ada juga yang bukan karena kesalahan kita, bahkan ada penderitaan yang harus kita terima sebagai konsekuensi dari panggilan hidup yang kita jalani sebagai pengikut Kristus.

Sebagai orang Kristen/Katolik, kita harus mengerti bahwa tujuan beriman “bukanlah untuk mengubah keadaan”, tetapi kita dipanggil untuk beriman supaya “mampu berbuah dalam setiap keadaan”.

Antara orang yang rajin ke Gereja dan orang yg jarang ke Gereja, akan mengalami hujan yang sama, panas terik yang sama, tetap akan mengalami rasa sakit yang sama, namun reaksi dari keduanya akan sangat berbeda. Orang yang sungguh-sungguh beriman akan lebih mampu memaknai peristiwa, dan dia akan mampu berbuah sekalipun dalam peristiwa yang sangat getir.

Di atas bukit Golgota tergantung 3 orang, dimana salah satunya adalah Yesus. Tetapi, reaksi dari ketiga pribadi yang disalibkan itu sangat berbeda satu sama lain. Ada yang memberontak, ada yang menuntut mujizat, ada yang pelan-pelan mulai menyadari kesalahannya.

Dalam Injil dikisahkan, Yesus sejak mulai ditangkap sampai disalibkan, Dia begitu tenang, tidak banyak bicara. Dia juga tidak menunjukkan sikap jengkel terhadap Yudas yang menghianatinya, Petrus yang menyangkalnya, dan kelompok orang-orang Farisi yang memfitnah-Nya.

Di atas kayu salib, sekalipun mengalami rasa sakit dan merasa ditinggalkan, namun hubungannya dengan Bapa tetap terjaga dan membuatnya berbuah.

Dia mendoakan, dan mengucapkan kata-kata pengampunan untuk orang-orang yang menginginkan kematian-Nya. Inilah gambaran dan reaksi dari orang yang sungguh-sungguh beriman.

….Sahabat….

Sesungguhnya melalui penderitaan kita dikuduskan. Kita dilatih untuk tidak menjadi sombong dan mengandalkan kekuatan sendiri, tetapi untuk mengandalkan kekuatan Tuhan.

Kita dipanggil untuk beriman atau menjalin relasi dengan Allah, bukan untuk mengubah siang tiba-tiba jadi malam.

Bukan untuk mengubah penyakit tiba-tiba menjadi sembuh, bukan untuk mengubah batu tiba-tiba menjadi roti. Beriman sesungguhnya bukan untuk mengubah suatu peristiwa, tetapi beriman agar kita berbuah dalam setiap peristiwa.

Itulah sebabnya, salib sebagai tanda penderitaan Yesus, menjadi tanda agung di dalam Kristianitas. Di dalam kondisi yang paling ditolak oleh manusia, yaitu “penderitaan dan dukacita”, justru Allah menunjukkan kehadiran-Nya dan menunjukkan bagaimana seharusnya seorang manusia berdiri di hadapan-Nya.

Salam Damai Sejahtera

BTL

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *