Akulah jalan dan kebenaran dan hidup, tak seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14 : 6)

Kita hidup di suatu masa yang disebut Post Modernisme. Salah satu ciri khas masa “post modernisme” adalah relativisme.

“Relativisme” adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa segala sesuatu tidak ada yang mutlak, atau dengan kata lain semua kebenaran itu relatif!

Pengaruh “relativisme” di era post-modernisme ini sedang melanda umat manusia di seluruh dunia, bahkan telah menyusup ke dalam Gereja, dan celakanya umat Katolik banyak yang tidak menyadarinya.

Belum jelas mengapa paham “relativisme” ini bisa menyusup ke dalam gereja, karena dibalik itu tersembunyi satu realitas yang amat kompleks.

Namun, setidaknya kemungkinan salah satu akar penyebabnya adalah karena lemahnya katekisasi diantara umat Katolik. Akibatnya sikap umat dalam menghayati iman, bukan dengan kebenaran mutlak yang ada dalam Gereja Katolik, melainkan dengan pemutlakan adanya hubungan dengan iman lain.

Saat ini banyak orang menyerukan “pluralism”, yaitu suatu konsep yang mengatakan bahwa ada banyak jalan, ada banyak cara, ada banyak kebenaran menuju keselamatan.

Bahkan seorang teolog & filsuf Kristen, John Hick mengemukakan pandangan bahwa “semua agama itu sama, kita jangan lagi menekankan keabsolutan agama kita terhadap agama lain”

Setiap tradisi agama itu dianggap seperti “tiga orang buta” yang sedang memegang gajah, dan masing-masing menggambarkan bagaimana itu gajah.

Orang buta pertama, memegang kaki gajah, dan mengatakan, “saya pikir gajah itu seperti pohon yang besar” Orang buta kedua tidak setuju dan mengatakan, “gajah itu seperti ular yang besar” sebab ia memegang belalainya. Orang buta ketiga mengatakan, “Salah! gajah itu seperti tembok besar”, sebab dia memegang tubuh samping gajah.

Setiap orang buta tersebut yakin bahwa dirinya benar dan yang lainnya salah, tetapi mereka tidak menyadari bahwa mereka semua sedang memegang gajah yang sama.

Dari fakta di atas, kita bisa bertanya: “Bagaimana mungkin kita dapat berkata bahwa “kesimpang-siuran” semacam ini sama benarnya?”

Saudara-saudara, tanpa mengecilkan arti pandangan-pandangan atau paham-paham di atas, mari kita renungkan “tawaran” yang disampaikan Yesus Kristus : “… Akulah Jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14:6)

Jika kita menghayati lebih dalam ayat tersebut kita akan mengetahui bahwa di dalamnya Yesus menyebutkan “tiga” dari konsepsi besar agama Yahudi. Dan hebatnya, di dalam Dia, ketiga-tiganya mendapatkan realisasinya.

Akulah Jalan

Sebenarnya, orang Yahudi sejak dulu kala telah banyak membicarakan soal “jalan”, dan mereka juga mengetahui banyak tentang jalan Tuhan, yang di atasnya manusia harus berjalan seperti tertulis dalam Perjanjian Lama (Yes 30:21; 35:8)

Lalu, apa yang Yesus maksudkan ketika Dia berkata: “Akulah jalan ?”

Dalam teks bahasa Inggris, kata-kata Yesus itu berbunyi : ” I am the way“. Tambahan kata “the” disana menunjukkan bahwa Yesus bukanlah salah satu jalan diantara banyak jalan lain yang dicari manusia, melainkan Dia adalah satu-satunya jalan yang ada di dunia.

Yesus juga tidak mengatakan bahwa Ia sedang berada di sebuah jalan menuju Bapa, melainkan dikatakan bahwa Ia adalah jalan itu.

Apa yang Yesus katakan, jelas bertentangan konsep agama-agama di dunia, yang mengatakan bahwa untuk mencapai yang ilahi, seseorang harus berbuat baik dengan menurut aturan-aturan yang tertera dalam Kitab Suci agamanya.

Yesus tidak menunjuk pada suatu cara, aturan, metode apapun. Yang pertama-tama ditunjuk adalah diri-Nya sendiri, pribadi-Nya.

Bayangkan kita berada dalam suatu kota yang asing, dan akan menanyakan jurusan, lalu orang yang kita tanyai menjawab: “Ambilah jalan yang pertama ke kanan, dan jalan yang kedua ke kiri. Lintasi taman, kemudian lewat sebuah gedung gereja, lalu ambillah jalan ketiga ke kanan, dan jalan yang anda cari adalah yang ke empat di sebelah kiri”

Berpedoman pada keterangan ini, kemungkinan besar kita sudah tersesat sebelum separoh jalan. Tetapi, jika orang yang kita tanyai itu berkata: “Marilah ikut aku, saya akan nenunjukkan jalan itu. Dalam hal demikian, kiranya tidak mungkin lagi kita tersesat. Itulah yang dilakukan Yesus Kristus. Dia tidak hanya memberikan nasihat dan pengarahan, tetapi Dia menuntun dan memimpin secara pribadi. Dia tidak hanya mengatakan tentang jalan itu, tetapi Dia adalah jalan itu.

Akulah kebenaran

Sejak zaman dulu di Israel, para nabi telah menceritakan tentang kebenaran. Ini tersirat dalam ayat-ayat Kitab Suci Perjanjian Lama (Maz 26:3; 86:11; 119:30)

Namun, walau hal tentang kebenaran sudah lama diajarkan pada orang Yahudi, tetapi tidak ada seorang pengajarpun yang pernah berkata seperti yang Yesus katakan “Akulah kebenaran”

Kata “kebenaran” dalam bahasa Yunani ditulis “aletheia” adalah kata yang sangat spesifik. Bukan kebenaran biasa, tetapi kebenaran yang hakiki (benarnya benar).

Yesus juga tidak pernah berkata bahwa ada banyak kebenaran, dan Ia adalah satu dari kebenaran itu, melainkan Dia adalah satu-satunya kebenaran, sebagaimana teks bahasa Inggris yang tertera pada ayat itu adalah “the truth” bukan “a truth”

Kebenaran Yesus adalah mutlak, bukan pilihan! Sejarah agama-agama membuktikan bahwa di dunia ini tidak ada orang, seberapapun agungnya dia, yang berani berkata bahwa dirinya adalah kebenaran.

Mungkin ada yang berani berkata bahwa ajarannya adalah benar, mungkin juga ada orang yang mengatakan: “Aku telah mengajarkan kebenaran padamu”, tetapi tidak ada seorang pun yang berani mengatakan bahwa dirinya adalah kebenaran.

Tetapi Yesus berkata : “Akulah kebenaran” Inilah keunikan Yesus yang tidak ditemukan dalam pribadi manapun di dunia.

Adalah suatu hal penting mengenal kebenaran moral. Jika seorang ingin mengajarkan kebenaran moral, maka watak orang itu akan amat penting. mengapa? Bagaimana mungkin, seorang yang suka berzinah, lalu mengajarkan hal pentingnya kesucian? Bagaimana mungkin seorang yang suka mencuri, tapi mengajarkan soal nilai kedermawanan? Bagaimana mungkin seorang yang bernafsu untuk menguasai, tapi mengajarkan tentang keindahan kerendahan hati? Bagaimana mungkin seorang pendendam mengajarkan tentang keindahan kasih?

Kebenaran moral tidak bisa disampaikan hanya dengan kata-kata, tapi harus dengan contoh, dan justru inilah yang tidak dapat dilakukan guru manusia yang terbesar sekalipun. Tidak ada guru yang pernah menghayati kebenaran sepenuhnya sebagaimana yang ia ajarkan.

Disinilah hal yang luar biasa dalam diri Yesus, bahwa tidak hanya “pernyataan” mengenai kesempurnaan moral mencapai puncaknya dalam Dia, tetapi juga “kenyataan” mengenai kesempurnaan moral mendapatkan realisasinya dalam Dia.

Akulah Hidup

Sejak lama orang-orang Yahudi sudah diajarkan tentang arti hidup, sebagaimana tercatat dalam Perjajanjian Lama (Maz16:11; Amsal 6:23; 10:17).

Dari ayat-ayat tersebut, tersirat bahwa bagi orang-orang Yahudi, kehidupan bukanlah hanya sekedar sebagai pengetahuan untuk diketahui, melainkan apa yang membuat kehidupan itu berharga untuk
dihidupi.

Para pengajar Yahudi mungkin berkata bahwa mereka mempunyai jalan, atau mungkin pula berkata bahwa ajaran mereka mengandung kebenaran, tetapi tidak satupun berani menjanjikan bahwa mereka akan memberi hidup pada orang lain, karena mereka semua sadar bahwa hidup mereka ini kelak tidak lagi menjadi milik mereka dan mereka tidak mampu berbuat apa-apa untuk menghindari kematian.

Apa gunanya seorang berkata bahwa dirinya tahu jalan yang benar, tetapi ia sendiri mati, dan tidak dapat memastikan jalan yang benar itu?

Berbeda dengan orang lain yang sudah mati, Yesus bangkit lagi dari kematian. Dia hidup dalam arti sebenarnya. Yesus mampu menjanjikan kehidupan bagi orang lain, karena Dia adalah hidup itu sendiri.

…..Sahabat ….

Seandainya kita hadir di tengah para rasul sekitar 2000 tahun lalu, saat Yesus mengucapkan perkataan-Nya itu, kemungkinan kita dapat memahami kegundahan hati rasul Thomas, “Kemanakah Engkau akan pergi, Tuhan? Aku tidak tahu, bagaimana mungkin aku tahu jalan kesana?”

Namun, sekarang kita perlu berterima kasih kepada rasul Thomas, yang menyuarakan kegundahan hatinya itu. Karena justru kegundahan hatinya itulah, Yesus menjawab dengan Sabda-Nya yang meneguhkan, “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14:6)

Akhir kata, hidup di dunia ini merupakan kesempatan yang Tuhan berikan pada kita untuk bertumbuh di dalam pengenalan akan Kristus. Pertanyaannya adalah :

“Apakah kita sudah benar-benar mengenal Yesus? Apakah kita sudah benar-benar menghayati bahwa Kristus adalah jalan kepada Allah Bapa? Apakah kita sudah merenungkan ajaran Kristus & kehidupan-Nya, dari lahir sampai wafat, kebangkitan & kenaikan-Nya ke surga?”

Pertanyaan-pertanyaan diatas perlu dijawab oleh kita semua yang sedang berziarah di dunia mencari jalan menuju ke kehidupan kekal, karena Injil mengatakan :

“Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus” (Yoh 17:3)

Salam Damai Sejahtera

Theodorus Lintang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *