Sejarah Gereja

Sejak jaman penjajahan, Tangerang yang dahulu kala disebut Kampung Makasar, sudah sering dikunjungi misionaris Katolik. Hal ini dapat ditelusuri dari sepucuk surat yang ditulis oleh Pastor A. Van Moorsel kepada Mgr. AC. Claessen, Vikaris Apostolik Batavia, sebagai laporan perjalanan dinas ke daerah Banten.

Serang, 13 November 1870

“Mgr, … di Kampung Makasar saya telah mempermandikan dua anak. Dua anak lainnya tidak ada di rumah. Tadi pagi saya mempersembahkan Misa di gedung sekolah dan mempermandikan anak di rumah keluarga Upurich. Tadi siang saya ke Banten bersama Bapak Pati, besok pagi saya akan ke Anyer, lusa ke Caringin, Kamis ke Pandeglang, dan Sabtu ke Rangkasbitung. Saya harap Senin bisa kembali ke Serang ….”

Dalam surat tersebut jelas tertulis Kampung Makasar yang tak lain adalah kota Tangerang.

1902

Tangerang resmi masuk statistik Vikariat Apostolik Batavia dengan jumlah umat 23 orang, semuanya orang Eropa.

1929

Imam-imam dari Ordo Fransiskan (OFM) datang ke Hindia Belanda (Indonesia), diserahi Paroki Kramat dan seluruh daerah Banten, meliputi Serang, Lebak, Pandeglang dan Tangerang.

1933

Ditempatkan seorang Pastor tetap untuk melayani Rangkasbitung dan Tangerang. Dua tahun kemudian, karena dirasakan jarak Rangkasbitung dan Tangerang cukup jauh, beliau minta agar Tangerang dilayani pastor dari Batavia saja.

1935

Jumlah umat sebanyak 93 orang Eropa dan 5 orang pribumi.

1942

Jepang menguasai bekas jajahan Belanda, keadaan berubah drastis, praktis Tangerang tidak mendapatkan pelayanan sampai tahun 1948.

1948

Pada tahun 1948, Pastor Jacobus Van Leengoed, SJ, seorang pastor tentara diutus oleh Bapak Uskup Mgr. Petrus Willekens untuk berkarya di Tangerang. Dalam kesehariannya, beliau tinggal di Jalan Raya No. 15, gedung bekas Ramerwa School yang didirikan Zending tahun 1938. Bangunan sekolah ini, kemudian digunakan bergantian sebagai markas oleh tentara sekutu dan Jepang selama Perang Dunia II.

1949

Komposisi penduduk Tangerang yang saat itu didominasi oleh masyarakat Banten dan Cina, mendorong Mgr. Petrus Willekens untuk mengutus Pastor Laurentius Van der Werf, SJ, seorang pastor ahli dalam misi Tionghoa, yang kala itu menjadi Pastor Kepala Paroki Mangga Besar untuk menangani Tangerang.

1950 – 1951

Dalam mengemban tugasnya, kebutuhan akan tempat permanen dirasakan mendesak, maka beliau berniat memanfaatkan bangunan sekolah yang terbengkalai di Jalan Raya No. 15 tersebut.

Melalui perantaraan kenalannya, Dr. Tan Tjong Dai, pada tanggal 1 Juni 1950 bangunan tersebut dibeli dari pemiliknya dengan harga Rp. 30.000. Beberapa ruang kelas yang rusak kemudian diperbaiki, dan ruang kelas yang sudah selesai diperbaiki tersebut digunakan untuk membuka Sekolah Rakyat yang bernama Strada dengan murid awal 7 orang.

1952

Pengelolaan sekolah ini diserahkan kepada Suster-suster FMM, kemudian pada tahun 1971 digantikan oleh Suster-suster JMJ. Ketika kebutuhan akan tempat ibadat mulai dirasakan mendesak, maka di atas bangunan salah satu ruangan kelas diberi salib dan jadilah sebuah gereja. Itulah Gereja “Santa Bunda Maria yang Berhati Tak Bernoda”.

Berkat usaha yang tak kenal lelah dari Pastor Van der Werf, Bapak Uskup Mgr. P. Willekens berkenan menjadikan Tangerang sebagai Paroki dari Keuskupan Agung Jakarta dengan nama “Hati Maria Tak Bernoda”. Inilah cikal bakal Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda, Tangerang.

1953 – 1954

Sebuah Seminari Menengah didirikan di kompleks Paroki Tangerang dengan nama St. Pius. Pastor Van der Werf, SJ sebagai rektornya, dan Frater Fredericus Van der Schueren, SJ sebagai pamong. Muridnya antara lain Romo Nico Dumais S, saat ini sebagai Pastor Expatriate Jakarta, dan Romo Sutopamitro, Pr yang pernah bertugas di Paroki Kelapa Gading. Namun sayang, seminari ini hanya berusia 1 tahun, karena kemudian digabungkan lagi dengan Seminari Menengah Mertoyudan, yang kala itu sudah selesai diperbaiki akibat kerusakan perang di Jawa Tengah.

1955 – 1956

Sebagai pengganti Pastor Van der Werf ditunjuklah Pastor Marinus Kusters, SJ yang memulai tugas penggembalaannya. Cukup singkat beliau berkarya di Tangerang, hanya sampai tahun 1956.

1957

Pastor Wilhemus Krause Van Eeden, SJ diangkat sebagai Pastor Paroki Tangerang, merangkap sebagai pastor pembantu di Paroki Toasebio. Waktu itu jumlah umat 117 orang Indonesia, 15 orang Eropa, dan 23 orang bangsa lain.

Pada saat itulah sekolah-sekolah Strada dikembangkan. Dalam usaha mengembangkan sekolah-sekolah Strada, maka Komplek Daan Mogot No. 15 diperluas ke arah selatan dan didirikan Sekolah Menengah Pertama, dengan nama SMP Strada Santa Maria. SMP ini merupakan SMP Katolik pertama di Tangerang. Namun dalam perkembangannya, komplek SMP Strada Santa Maria tersebut digunakan menjadi gereja. Maka tidak mengherankan, masyarakat setempat mengenal gereja tersebut sebagai “Gereja Strada”.

1958 – 1959

Pastor Van Eeden, SJ membeli tanah dan gudang di daerah Pasar Baru untuk dijadikan Sekolah Dasar dan rumah guru. Seiring dengan perkembangan umat dan pelayanan sekolah yang membutuhkan tambahan lahan, maka dibelilah sebidang tanah di tepi jalan raya yang kini dikenal sebagai Jl. Daan Mogot 44, untuk dijadikan asrama guru pada bulan Mei 1958.

1960 – 1961

Sebagai wujud kepedulian terhadap penderita kusta, Pastor Van Eeden, SJ membeli tanah di seberang RS Kusta “Sitanala”. Tanggal 21 Maret 1960 didirikan Centrum Marfati. Centrum Marfati merupakan karya dari imam-imam Serikat Jesuit yang bekerja sama dengan Suster-suster Konggregrasi JMJ (Jesus Maria Joseph) di dalam pengelolaannya.

Gagasan mendirikan Centrum Marfati muncul karena melihat sulitnya para mantan penyandang kusta untuk memperoleh kehidupan/pekerjaan yang layak setelah dinyatakan sembuh dari penyakit yang dideritanya. Usaha itu diwujudkan dalam bentuk usaha sabun dan karton. Di lokasi ini dibangun pula sebuah kapel yang diresmikan pada 17 November 1960 dengan nama “Kapel Maria Fatima”, sehingga komplek itu dikenal dengan sebutan Komplek Marfati.

1962

Pada tahun 1962 didirikan Unit Karya Kesmar (Kesejahteraan Marfati). Unit karya ini menangani hal-hal yang berhubungan dengan kesejahteraan para mantan penderita kusta, antara lain klinik kesehatan, kegiatan rohani, keterampilan khusus, serta rumah penampungan sederhana bagi para mantan penderita kusta lanjut usia.

1963 – 1967

Tahun 1963 didirikan Unit Karya Idumar (Industri Marfati). Unit karya ini menghasilkan kertas kartun jenis merang, untuk sarana pembungkus alat-alat rumah tangga seperti panci logam, teko air, piring, dan lain-lain yang dihasilkan oleh suatu pabrik. Jumlah mantan penderita kusta yang ditampung maksimal 45 orang. Setelah beberapa tahun berjalan, unit karya ini sudak tidak beroperasi lagi, karena para mantan penderita kusta sudah mulai dapat diterima masyarakat, di samping industri di Tangerang juga telah berkembang dengan sangat pesat, sehingga timbul persaingan ketat.

1968

Tahun 1968, Pastor Antonius Mulder, SJ ditugaskan oleh Uskup Mgr. Djajasepoetra untuk menggembalakan umat Tangerang. Karena rentang wilayah pelayanannya yang luas meliputi Ciledug, Tigaraksa, Serpong, Tanjung Pasir/Tanjung Kait, Kampung Melayu, Balaraja, serta pertumbuhan umat yang tidak sebanding dengan kapasitas Gereja, memaksa Gereja membagi wilayahnya menjadi beberapa stasi, yaitu Stasi Teluk Naga 14 km ke Utara, Stasi Curug 18 km ke Barat Daya, Stasi Tanjung Kait 28 km ke Barat Laut, dan Stasi Ciledug di Selatan.

1969 – 1970

Didirikan Unit Karya Fatifarm (Farming Selapajang) yang berlokasi di Desa Selapajang Jaya, Tangerang. Dalam unit karya ini para mantan penderita kusta diberi keterampilan untuk beternak ayam, babi dan bertani buah-buahan. Jumlah mantan penderita kusta yang ditampung maksimal 30 orang. Sekarang unit karya ini sudah tidak beroperasi lagi karena keterbatasan sumber daya manusia dan dana.

1971

Di awal tahun 1971, Uskup Agung Jakarta Mgr. Leo Soekoto, SJ menyerahkan Stasi Cengkareng dan Stasi Kapuk kepada Paroki Tangerang. Sebelumnya, kegiatan penggembalaan umat di kedua stasi itu masih dilaksanakan oleh Pastor H. Kemper, MSC dari Paroki Grogol.

Didirikan Unit Karya Komata, dengan bantuan Suster Gabriel JMJ, Suster Irene JMJ, dan Suster Jose JMJ. Unit karya ini memberikan keterampilan menjahit pakaian, seperti baju seragam sekolah, baju karyawan pabrik, dan melayani pesanan perorangan. Jumlah mantan penderita kusta yang dapat ditampung maksimal 40 orang. Setelah mendapatkan kursus keterampilan menjahit, maka para mantan penderita kusta dapat langsung terjun ke masyarakat dengan modal keterampilan yang mereka dapat, plus 1 unit mesin jahit.

Di tahun ini pula, didirikan Unit Karya Badan Pengelola Marfati yang dikelola oleh Ibu Stien Purimahua dan Bapak Sukino.

1972

Didirikan Unit Karya Tukmar (Pertukangan Marfati). Unit karya ini didirikan dengan tujuan agar mantan penderita kusta mendapat keterampilan tukang kayu.

Unit karya ini menerima pesanan perlengkapan sekolah seperti meja, kursi, lemari buku, dan lain-lain. Jumlah mantan penderita kusta yang ditampung maksimal 40 orang. Namun, lagi-lagi karena keterbatasan sumber daya manusia dan dana, akhirnya unit karya ini sudah tidak aktif lagi.

1973 – 1974

Pada masa itu ada tuntutan dari pemerintah bahwa semua karya/proyek harus membentuk sebuah Yayasan, maka atas izin dari Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto tertanggal 31 Desember 1973, Pastor Anton Muelder, SJ mendirikan Yayasan Sosial Marfati pada tanggal 1 Januari 1974. Dengan demikian, dalam meneruskan usaha yang telah dirintis oleh Pastor Wilhemus Krause Van Eeden, SJ melalui Yayasan Gereja dan Dana Papa, beliau menjadikan Marfati sebagai Yayasan resmi, yang terdaftar pada Notaris dengan Akta No. 1 tanggal 14 Februari 1974, dan Pengadilan Negeri Tangerang tanggal 26 Februari 1974 No. 11/PN/TNG. Dengan landasan hukum yang sah ini, langkah Yayasan Marfati dalam melayani semakin mantap.

1975

Stasi Cengkareng diresmikan menjadi Paroki mandiri, dengan nama Paroki Trinitas.

1976

Didirikan Koperasi Simpan Pinjam Tunas Harapan yang beranggotakan para mantan penderita kusta yang berada di Yayasan Sosial Marfati serta mereka yang bersangkut paut dengan Yayasan Sosial Marfati. Koperasi ini di bawah bimbingan Badan Kerjasama Kristen Katolik (BK3) – Jakarta. Namun, saat ini koperasi tersebut sudah tidak aktif lagi karena perkembangan zaman dan keterbatasan sumber daya manusia.

Pastor Anton Muelder, SJ juga merintis pendirian Yayasan Bina Kasih yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tidak mampu. Kepedulian ini diwujudkan dalam bentuk pemberian beasiswa. Hingga tahun 1994, sudah lebih dari 15.000 anak yang menerima beasiswa. Yayasan Bina Kasih juga melayani pendidikan keterampilan di bidang tata rias, menjahit, dan memasak, di samping memberikan penyuluhan kesehatan. Pelayanan ini benar-benar diberikan kepada masyarakat tanpa memandang agama, suku dan golongan.

1977 – 1979

Pada bulan Januari 1977, umat Paroki Tangerang mendapat gembala baru, yaitu Pastor FX. Tan Soe Ie, SJ. Sebelum mendapat tugas di Tangerang, beliau bertugas sebagai Pastor Paroki di pinggiran Yogyakarta. Suatu hal yang unik dari pastor ini adalah beliau mendapat tugas penggembalaan dari senior yang dulu membaptisnya dan juga pernah berkarya di Tangerang, yaitu Pastor Wilhemus Krause Van Eeden, SJ. Demikianlah tongkat penggembalaan itu diterima oleh Pastor Tan Soe Ie, SJ.

Pada masa itu banyak wilayah di Tangerang yang dulunya kebun karet berubah menjadi komplek perumahan dan munculnya berbagai real estate serta perusahaan-perusahaan yang menjamur, menyebabkan Tangerang banyak diserbu kaum pendatang dan karyawan-karyawan. Konsekuensinya, Gereja Tangerang banyak mendapat limpahan umat baru dari berbagai daerah. Kehadiran warga baru ini menambah dinamika umat dalam pelayanan di paroki. Wilayah Tangerang sudah berubah. Kota yang semula relatif sepi dan terbelakang ini, mulai dinamis, bangkit, bergerak dan berkembang di segala bidang. Selain limpahan dari luar daerah, banyaknya baptisan dewasa, terutama dari penduduk asli Tangerang keturunan Tionghoa, turut menyumbang pertumbuhan umat Paroki Tangerang. Tidak ketinggalan pula banyak kaum muda Benteng yang mulai tertarik pada Gereja. Semua ini juga tidak terlepas dari karya pendidikan yang telah dirintis oleh Strada.

Mengalirnya warga Cina Benteng masuk Gereja Katolik sejak tahun 1979 dan puncaknya sekitar tahun 1990. Waktu itu, jumlah baptisan dewasa merupakan jumlah yang terbesar di Keuskupan Agung Jakarta.

1980 – 1983

Pemkab Tangerang membuka lahan pohon karet untuk mendirikan perumahan dengan nama Perumahan Nasional atau lebih dikenal dengan Perumnas Karawaci. Banyak pendatang yang menempati perumahan baru tersebut, diantara mereka ada yang beragama Katolik. Ketika itu, Menteri Perumahan Rakyat yang dijabat oleh Cosmas Batubara memberikan lahan fasilitas sosial dan pendidikan di Perumnas Karawaci.

Adanya lahan fasilitas sosial tersebut memberikan inspirasi Paroki Tangerang untuk membentuk Panitia Pembangunan Gereja (PPG) Stasi Emanuel dan segera merintis pembangunan gedung serbaguna di Perumnas Karawaci di lahan tanah seluas 1000 m2 yang terletak di Jl. Cisabi, dan Surat Keputusan dari Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tangerang No. 370/PM.014.6/SIP/II/1981 tertanggal 25 Februari 1981 berupa surat izin lokasi dan penggunaan tanah untuk pembangunan gereja di kawasan Perumnas Tangerang.

1984

Didirikan Unit Karya Panti Werdha yang dikelola oleh Suster Fransisca, JMJ. Pada awalnya, Panti Werdha ini hanya untuk menampung para lansia yang tidak mempunya keluarga dan sanak famili, maksimal 10 sampai dengan 12 orang.

1985 – 1986

Pertengahan tahun 1985, Pastor Tarsisius Sujudanto, SJ menggantikan Pastor Tan untuk bertugas sebagai Kepala Paroki. Ketika berkunjung ke Gereja Santa Maria, Uskup Mgr. Leo Soekoto berkomentar bahwa Gereja Tangerang adalah gereja emper yang diberi emper, dan berpesan supaya didirikan bangunan gereja yang layak dengan partisipasi umat.

Pada tahun ini juga, didirikan 2 buah kapel yaitu Kapel Maria Immaculata di Teluk Naga dan Kapel Santo Mikael di Tanjung Kait.

1987

Di pertengahan tahun 1987, Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda Tangerang mendapat gembala baru, yaitu Pastor Sigfridus Binzler Bintarto, SJ, seorang pastor berdarah Jerman.

1988 – 1991

Sementara itu, di gereja induk umat semakin berkembang. Warga pendatang terus saja mengalir, terutama kaum buruh yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga gereja perlu dimekarkan. Tanggal 28 Agustus 1988, Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto meresmikan berdirinya Paroki Karawaci dengan nama Paroki Santo Agustinus. Secara formal tertuang dalam Surat Keputusan Keuskupan Agung Jakarta Nomor 1344/3.25.4.39/88, tanggal 28 Agustus 1988, tentang pendirian Paroki Agustinus/PGDP Paroki St. Agustinus Karawaci. Dengan adanya surat keputusan tersebut, maka tugas tim PPG Wilayah Emanuel dianggap selesai.

1992 – 1994

Pada tanggal 28 November 1992 dilakukan peletakan batu pertama pembangunan gereja induk dan penandatanganan prasasti oleh Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto dan Walikota Tangerang, Drs. H. Djakaria Machmud. Tanggal 29 November 1992 merupakan misa terakhir yang dilaksanakan di gereja sebelum dilakukan pembongkaran. Tanggal 14 Desember 1992 pembangunan gedung gereja induk dimulai. Tanggal 18 Desember 1993 perayaan Misa Adven IV sudah dilaksanakan di gedung gereja yang baru, demikian pula dengan Perayaan Natal 1993. Tanggal 12 Mei 1994 peresmian gedung Gereja Santa Maria dipilih bertepatan dengan Hari Kenaikan Tuhan.

1994 – 1997

Tahun 1994 dimulai pembangunan Gedung Pastoran dan Gedung Serba Guna (GSG) di Kompleks Perumahan Kutabumi, yang saat itu sudah terdapat 60 KK meliputi Pondok Indah, Pondok Sejahtera, Pondok Makmur, Pondok Rejeki, dan Pondok Permai. Gedung ini bisa dipergunakan untuk Misa dua minggu sekali. Sejak saat itulah ditetapkan bahwa umat Kutabumi sudah memiliki stasi dengan nama Stasi Kutabumi.

Tahun 1997, terbit Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tangerang No. 645.8/398-DB/1997 tentang Izin Mendirikan Bangunan untuk Gedung Serba Guna (GSG) dan ruang Pastor. Sejak saat itu, Stasi Kutabumi berubah nama menjadi Stasi Gregorius. Pada tanggal 13 September 2000, Pastor Binzler Bintarto, SJ meresmikan berdirinya Stasi Gregorius yang terdiri dari 12 lingkungan.

1998 – 2003

Pada tanggal 1 Juli 1988, Paroki Tangerang mendapat seorang gembala baru, yaitu Pastor Stevanus Bratakartana, SJ. Saat itu, umat paroki sudah mencapai 15.000 jiwa dengan beraneka ragam latar belakang. Agar umat mendapat kenyamanan saat mengikuti perayaan ekaristi, maka segala sarana pun dibangun. Lahan yang terletak di sisi kiri dan kanan gereja dimanfaatkan dengan membuat tenda permanen. Di bawah tenda itulah umat dapat mengikuti perayaan ekaristi setiap minggunya.

2004 – 2005

Panti Werdha yang berlokasi di Kompleks Marfati dibangun menjadi Graha Lansia yang dapat ditempati oleh sekitar 42 orang jompo. Pada tahun 2004, Panti Werdha ini berganti nama menjadi Graha Lansia Marfati yang pelayanannya ditujukan pada para lansia yang berusia minimal 60 tahun dan dapat menampung sebanyak 66 sampai 69 orang. Bersamaan itu, dibangun pula sebuah guest house yang bisa digunakan umat untuk mengadakan berbagai kegiatan.

Sampai tahun 2004, tercatat ada 11 wilayah dengan 57 lingkungan dan mencakup Stasi Gregorius di Kutabumi dan Stasi Immaculata di Teluk Naga. Waktu itu sudah banyak komunitas yang tumbuh seperti Legio Maria, Persink, Putera Altar, Putri Sakristi, Mudika, Persekutuan Doa Karismatik Katolik Dewasa dan Mudika, Komunitas Tritunggal Mahakudus, E Club, Teater Teduh, Majalah Terang, dan lain-lain.

Tahun 2005, diprakarsai pula pembangunan Rumah Doa “Agustinus” di Kompleks Perumahan Poris. Semula Rumah Doa ini diperuntukkan untuk menampung sekitar 200 umat dari 4 lingkungan di wilayah ini.

2006 – 2010

1 Oktober 2006, Pastor Maximianus Sriyanto, SJ ditunjuk sebagai Pastor Kepala Paroki Santa Maria Tangerang. Pada masa ini dilakukan berbagai pembenahan terhadap pengelolaan paroki. Salah satu bentuk pembenahan manajemen ini adalah adanya penambahan anggota Dewan Paroki Harian dalam struktur organisasi Dewan Paroki (DP). Pembenahan lainnya adalah pembentukan Seksi Lingkungan Hidup dan Seksi Hubungan Antara Agama dan Kemasyarakatan (HAAK).

Selain itu dilakukan penyeragaman masa bakti kepengurusan lingkungan dan wilayah. Pelantikan para pengurus lingkungan dan wilayah juga dilakukan serentak dalam Ekaristi Kudus yang dihadiri umat.

Untuk menunjang pengelolaan rapat-rapat disiapkan pula ruang Dewan Paroki yang representatif. Pada masa inilah nama Gereja dikembalikan ke nama asalnya, yaitu Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda.

Upaya menjadikan Stasi Gregorius menjadi sebuah paroki mandiri terus dilanjutkan. Saat itu umat di Stasi Gregorius Kutabumi sudah lebih dari 1.000 KK dengan jumlah 7500 umat. Terkait dengan rencana itu, maka mulai dipersiapkan secara serius hal-hal penting antara lain sumber daya manusia (SDM), Organ Dewan Stasi Gregorius, penataan manajemen organisasi dan sistem keuangan, serta pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

2011 – 2014

Maret 2011, Pastor Ignatius Swasono, SJ menggantikan Pastor M. Sriyanto, SJ sebagai Kepala Paroki.

29 Februari 2012, Dewan Paroki Harian Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda menyampaikan surat permohonan kepada Uskup Agung Jakarta agar Stasi Gregorius menjadi paroki mandiri.

Akhirnya, setelah berproses selama 12 tahun, pada tanggal 3 September 2012, Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignatius Suharyo, Pr menerbitkan Surat Penegasan tentang status Stasi Santo Gregorius menjadi paroki mandiri. Paroki Santo Gregorius Agung secara resmi menjadi paroki ke-63 di Keuskupan Agung Jakarta, serta menjadi paroki ke-12 di Dekenat Tangerang.

Pada tanggal 23 September 2012 dilakukan peresmian Paroki/Gereja Santo Gregorius Agung yang ditandai dengan Misa Konselebrasi dengan selebran utama Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignatius Suharyo, Pr bersama dengan 16 Imam konselebran.

Di masa ini, Dewan Paroki Harian membentuk panitia untuk melakukan renovasi terhadap bangunan utama Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda meliputi pekerjaan interior dan eksterior.

2014 – sekarang

Pada tanggal 1 Oktober 2014, Pastor Yohanes Wartaya Winangun, SJ resmi ditunjuk menggantikan Pastor Ignatius Swasono, SJ sebagai Pastor Kepala.

Refleksi

Fakta-fakta sejarah dalam perjalanan panjang Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda Tangerang dipenuhi begitu banyak pengaman yang penuh misteri. Semua itu tidak lepas dari campur tangan Tuhan, sehingga lahirlah karya-karya yang menjadi tonggak pelayanan reksa pastoral Gereja.

1. Baptisan Pertama

Peristiwa baptisan pertama atas nama Erick Edward van Ameron, seorang warga Belanda, pada tanggal 23 Mei 1948, merupakan sebuah keputusan iman, sebagai tanda yang dipilih Tuhan. Peristiwa pemberian Sakramen Baptis yang pada saat itu mungkin dianggap sebagai suatu kejadian biasa, kenyataannya menjadi awal sebuah peziarahan panjang dari sekelompok umat di bantaran Sungai Cisadane, Tangerang.

2. Perutusan seorang Pastor Tentara

Peristiwa penggembalaan oleh seorang Pastor Tentara, bernama Jacobus Van Leengoed, SJ pada tahun 1948 merupakan awal pelayanan reksa pastoral, yang diawali dengan Sakramen Baptis pertama. Kemudian disusul dengan hadirnya pastor-pastor yang diutus ke Paroki Tangerang dan menetap disana untuk meneruskan reksa pastoral membangun umat Allah.

3. Pelayanan Sosial

Dipindahnya Rumah Sakit Kusta “Suka Ria” di Lenteng Agung, Depok ke desa Sewan, Tangerang, menandai awal pelayanan sosial Gereja bagi orang-orang yang membutuhkan pertolongan, dimulai dari mantan penderita kusta. Melalui Yayasan Marfati, para mantan penderita kusta diberi bekal keterampilan dalam melanjutkan “hidupnya” kembali. Peran Gereja secara konkret tampil memberikan pelayanan sosial dan mewujudkan visi kemanusiaan yang sejati. Bentuk pelayanan tersebut, sampai saat ini terus dikembangkan oleh Gereja, seperti pelayanan bantuan pemakaman jenazah, bantuan kematian Santo Yusup, serta bantuan rawat inap (dana sehat) bagi seluruh umat paroki.

4. Pengembangan Sosial Ekonomi

Upaya Gereja dalam membantu pihak kecil, lemah, miskin, dan tersingkirkan (KLMT) serta disable, diwujudkan dengan memberikan keterampilan pada masyarakat kecil dalam bidang peternakan-pertanian. Diawali dengan pembelian sebidang tanah di desa Selapajang oleh Pastor Anton Muelder, SJ. Tanah itu kemudian digunakan sebagai lahan pertanian, peternakan ayam, babi dan lain-lain, dengan tujuan memberikan keterampilan kepada masyarakat dalam bidang pertanian-peternakan agar dapat mendukung tingkat ekonomi masyarakat kecil dan miskin. Inilah wujud Gereja yang peduli dan murah hati.

Apa yang telah direncanakan dan dilakukan oleh para pastor dan pengurus gereja pada masa lampau pantas untuk mendapat apresiasi setinggi-tingginya dari Gereja/Paroki saat ini. Pertanyaan penting bagi kita yang masih menjalani “peziarahan” adalah: Bagaimana kita bisa memetik makna sejarah ini, yang kemudian menjadi bekal dalam mengarungi “perjalanan” yang masih panjang ini?

Sepanjang perjalanan panjang sejarah Gereja Katolik Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda Tangerang, banyak orang yang dijumpai, ada yang berani, ada yang berkompromi. Ada peristiwa gembira, ada peristiwa sedih, silih berganti. Namun kekuatan rahmat Ilahi selalu tampak bersama kelemahan umat beriman. Jika angkatan terdahulu sanggup mengatasi segala halangan, maka angkatan sekarang juga sanggup berbuat demikian.

Blasius Theodorus Lintang

One thought on “Sejarah Gereja”
  1. Woow… saya kelahiran 1988, dan di Babtis di Agustinus Oct 1988. Cici saya di Babtis oleh Pastor Tan pada tahun 1985. Sangat senang membaca sejarah awal mula gereja katolik di Tangerang

Comments are closed.